Kamis, 20 Juni 2013

Pencak Silat Cempaka Putih


Sebelumnya bernama Silat Mardi Anoraga Sakti, didirikan oleh Eyang Mursid. Tahun 1964 menjadi Pencak Silat Cempaka Putih yang didirikan oleh Eyang Wagiman (anak Eyang Mursid), yang juga terkenal dengan silat hadirannya. Bapak Wagiman, beliau dilahirkan di kota Magetan pada tanggal 31 januari 1944. pada tahun 1966 adalah masa peralihan zaman orde lama ke zaman orde baru di Negara Indonesia. Dengan penuh tantangan dan kendala Bp. Wagiman pada masa itu mulai merintis dan menata kesinambungan budaya pencak silat yang telah diwarisinya.
Pada saat itu di kabupaten Magetan masa kekosongan Organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Jadi Organisasi Pencak Silat yang berada di kabupaten Magetan pada waktu itu masih berdiri sendiri tanpa induk organisasi IPSI. Pada tahun 1969, atas nama komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) Cabang Magetan menunjuk dan mengangkat Bp. Wagiman menjadi ketua IPSI cabang Magetan pada kurun waktu tahun 1969 sampai tahun 1971. pada masa inilah Bp. Wagiman mulai aktif menggerakkan kegiatan IPSI, untuk mengisi kekosongan aktifitas IPSI cab. Magetan. Tepatnya pada tanggal 1 april 1971, secara resmi digiatkannya olah raga bela diri pencak silat yang mendapat rekomendasi dan ijin dari kepala Kepolisian Resort 1054 Magetan dan Komandan KODIM 0804 Magetan, yang akhirnya ini merupakan cikal bakal berdirinya organisasi olah raga bela diri pencak silat cempaka putih.

Bpk. Djiwa Wagiman
(pendiri Pencak Silat Cempaka Putih)
Tepatnya pada tanggal 18 juli 1974 dengan diberi nama Organisasi Olah Raga Bela Diri Cempaka Putih secara resmi didirikan oleh Bapak Wagiman. Kemudian diakui dan terdaftar pada IPSI cab. Magetan dengan surat keputusan No. 3/6/IPSI/74 kemudian dinyatakan sebagai pusat induk Organisasi Olah Raga Pencak Silat Cempaka Putih berada di Magetan Provinsi Jawa Timur.
Di dalam mendirikan Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih, Bapak Wagiman mendapat dukungan dari para pendekarnya antara lain:
1.Kol. Pol. Drs. Cuk sugiarto, MA.
2.Letkol Pol. Drs. Pranowo
3.Kapten Inf. Purn. Ngadeni
4.Lettu Pol. Sukar H.W
5.Lettu Pol. Puguh
6.Peltu Pol. Purn. Masdar
7.Peltu Pol. Purn. Mulyono H.S
8.H. Soemarmo
9.Purdjito
10.Ahmad Nidom
11.Maelan
12.Kusnidi
Didalam pengembangan telah disiapkan pula para pelatih yang handal antara lain:
1.Drs. Kusdi
2.Sugeng Haryono
3.Syukurno
4.Suprapto
5.Totok Suprapto
Dengan modal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih dan dengan landasan spiritual: ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, landasan moral: pancasila, serta landasan operasional : panca setia cempaka putih, dengan semboyan WIRO YUDHO WICAKSONO dan lambing bunga cempaka berwarna putih berdiri dengan kokoh dan mekar berkembang di seluruh wilayah persada nusantara
Di dalam pengembangannya Organisasi Olah Raga Bela Diri Cempaka Putih berpedoman pada ajaran-ajaran dan kaidah-kaidah pencak silat, serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang serba maju dan modern.
Dengan bekal ilmu lahir maupun batin yang dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk bahan pendidikan dan pembinaan yang meliputi:
Ilmu Teknik Pencak Silat
Ilmu Tenaga dalam
Ilmu terapi ( penyembuhan )
Ilmu kerohanian
Kini Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih telah berkembang pesat dan telah mencetak jutaan pendekar yang terdiri dari tiga tingkatan warga, yaitu:
Tingkat Warga Purwa
Tingkat Warga Madya
Tingkat Warga Wasana
Tingkat Warga Dwija


PSN. Tri Susila


Pada jaman kerajaan Mataram masyarakat Yogyakarta & sekitarnya mengembangkan pencak silat sambil mengajarkan agama Islam. Trisusila adalah salah satu perkumpulan pencak silat dikala itu. Pada awalnya Trisusila hanya sebuah perkumpulan yg dibentuk oleh para pendekar Mataram. Hingga pada jaman penjajahan Trisusila diresmikan menjadi sebuah perguruan silat oleh bpk. Tajudin di kabupaten Purworejo desa Cangkrep kidul. Beliau adalah salah satu pendekar Trisusila yang ingin tetap mengembangkan pencak silat dikala itu, dari sekitar tahun 1940 sampai sekarang Trisusila terus berkembang di Jawa Tengah. Sampai pada tahun 1997 Trisusila mulai dikembangkn di DKI JAKARTA, khususnya di wilayah Jakarta Timur. Hingga saat ini Trisusila terus berkembang & telah terdaftar pada Ikatan Pencak Silat Indonesia(IPSI).

Rabu, 19 Juni 2013

Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka


Indonesia memiliki berbagai suku dan pastinya memiliki banyak perguruan pencak silat  salah satunya adalah perguruan pencak silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka adalah sebuah Organisasi seni beladiri (pencak Silat) yang lahir di daerah sunda, tepatnya di Kp.Gegerpasang, Ds.Sukarasa, Kec.Samrang, Kab.GarutGadjah Putih Mega Paksi Pusaka didirikan oleh Maha Guru KH. Adji Djaenudin Bin H.Usman pada 20 Mei 1959. Maha Guru lahir di Kp.Gegerpasang, Ds.Sukarasa, Kec.Samarang, Kab.Garut pada tahun 1908 dan beliau telah terjun dalam dunia persilatan pada tahun 1927.


KH. Adji Djaenudin Bin H.Usman

Sejak saat itu maha guru mulai berguru pada guru guru silat antara lain :
Mama H.Usman (Syahna Samarang), Endjam Djamhari (pangalengan Kab.Bandung), Mama Sa'i (Cimindi Bandung), Embah Bi'in (Ciampea Taralikolot Bogor ), Bang Jam'an & Bang Alip (Kuwitang Jakarta ).


● Moto Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka
Gadjah Putih memiliki sebuah moto yang berbunyi :

Elmu Luhung Teu Adigung
Sakti Diri Teu Kumaki
Yakin Usik Kersaning Illahi "

yang berarti

"Ilmu Tinggi Tidak Angkuh
Sakti Diri tidak Takabur
Yakin Prilaku perkenan Illahi"

dengan moto tersebut dapat dijelaskan jika kita memiliki ilmu baik secara fisik maupun batin yang mempuni kita tidak boleh angkuh, begitupun jika telah merasa diri kita sakti jangan pernah takabur, dan yakinkanlah bahwa setiap prilaku atau perbuatan kita harus di ridhoi oleh Allah SWT.

 Lambang Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka
Lambang yang lahir dari tafakur Maha Guru KH. Adji Djaenudin bin H.Usman kepada Allah SWT ini memiliki arti sebagai berikut : 
GADJAH PUTIH : Seekor satwa besar yang gagah berani berwarna putih yang melambangkan kesucian, diibaratkan sebuah kendaraan dalam membela kebenaran dan kebajikan hidup yang diridoi oleh Allah SWT, dan belalai gajah dengan kelincahannya serta kuat bermulti guna demi kemaslahatan umat manusia.
MEGA : Luhur, bercita-cita tinggi dalam membela nusabangsa yang berpancasila dan beragama.
PAKSI : Jujur, Cepat, Lurus demi keadilan, kebenaran dan keparipurnaan hidup manusia Duniawi dan Uhrowi.
PUSAKA : Terpelihara, Wajib dipelihara warisan leluhur supaya tetap tunggal dengan kesatuan dan persatuan dalam membela dan mencapai cita-cita.


Silat Cimande


Sejarah Silat Cimande sangat menarik untuk di simak. Tepatnya cerita awal mula terciptanya jurus silat cimande yang cukup fenomenal ini.
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering diperdebatkan, yaitu:
1. Versi Pertama
Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya ada di rumah… padahal saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan menunggu… sampai merasa jengkel dan khawatir… jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum datang juga. Akhirnya tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir… yang ada tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya… “ti mana maneh?” (Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul… tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan menyadari kekhilafannya… dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus “ti mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?” (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu bisa “Main”?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah satu monyet memegang ranting pohon.) Saking indahnya perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang tengah malam.
Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa. Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau membangun reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih:
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab “ti indung” (dari ibu), karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 – awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
2. Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugissendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui.
Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati… Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih… menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan” Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang… misal beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di USoleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.
3. Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana “leluhur” dalam bahasaIndonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri terpisah, darimana beliau belajar Maenpo ini… apakah hasil perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut… tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande ini… Abah Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok… tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari China dan juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dahsyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai “pamuk” (pamuk=guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena beliaulah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang “menciptakan” aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah beliau tinggal di Kampung Tarik Kolot – Cimande sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa beliau: “selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga beliau selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika beliau “ibing” di atas panggung penampilannya sangat expressif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika “ibing” (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang (“Nincak kana kendang” – istilah sunda). 


PS. Tiga Berantai


Tiga Berantai terdiri atas tiga aliran besar ilmu silat: Si Macan, Si Tembak, dan Si Karet. 
Pada 1580-an hingga 1619, Jakarta dipimpin seorang adipati bernama Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Konon istana sang pangeran terletak di Jakarta Utara, yang kini dinamai Jalan Pangeran Jayakarta di wilayah Mangga Dua. 
Sang pangeran mewarisi kekuasaan atas Jakarta dari ayahnya, Pangeran Tubagus Angke, menantu Sultan Maulana Hasanuddin, penguasa Banten yang merupakan putra Sunan Gunung Jati. 

Tubagus Angke, yang namanya diabadikan sebagai jalan di wilayah Jelambar, Penjaringan, Jakarta Utara, memerintah Jakarta dari 1552 sampai 1580-an. Ketika Pangeran Jayakarta berkuasa, armada Maskapai Perdagangan Belanda (VOC) menyerang pada Mei 1619. Pangeran Jayakarta bertahan habis-habisan dari serangan tentara VOC pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Pertempuran sengit terjadi, pasukan Jayakarta pun terdesak. Belanda mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok. 
Karena terjepit, Pangeran Jayakarta dan pasukannya bergerak mundur ke timur hingga daerah Sunter, lalu ke selatan. Sambil terus bergerak ke selatan, ketika itu Pangeran Jayakarta membuang jubahnya ke sebuah sumur tua. 

Mengira Pangeran Jayakarta telah tewas di dalam sumur tua itu, Pasukan Belanda menghentikan pengejaran dan menimbun sumur tersebut dengan tanah. Belanda mengira Pangeran Jayakarta sudah mati. Setelah Jayakarta dikuasai Belanda, Gubernur Jenderal Coen mengubah nama Jakarta menjadi Batavia. Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya meneruskan perjalanan dan bertahan di hutan jati di tenggara Jakarta. Wilayah itu kelak disebut Jatinegara, yang bermakna negara atau pemerintahan di hutan jati atau bisa juga diartikan pemerintahan (Jakarta) yang sejati. Makam Pangeran Jayakarta di Jatinegara kini bisa dikunjungi siapa saja. Lokasinya pun relatif mudah ditemukan dan dicapai. Padahal tempat peristirahatan terakhir bangsawan Banten itu selama lebih dari tiga abad dirahasiakan oleh anak-cucunya. 

Di wilayah ini pula Pangeran Jayakarta terus menggalang kekuatan untuk melawan Belanda. Ia menyamar sebagai rakyat jelata dan terus bergerilya hingga akhir hayat. Anak keturunannya terus hidup dan menyembunyikan identitas. 

Salah satu ciri keturunan Pangeran Jayakarta adalah bernama depan Ateng, yang sebenarnya berarti raden. Tidak hanya nama yang diwariskan, tapi juga permainan pencak silat. Salah satu ahli warisnya adalah Haji Ateng Abdulrahim (1885-1970). 

Ateng Abdulrahim, yang setelah menunaikan ibadah haji dipanggil Hj. Ibrahim, pada masanya dikenal jago Master, Jatinegara. Ia belajar ilmu silat dari sang ayah, Ateng Abdul Hamid, dan pamannya, Ateng Arwah, serta Ateng Damis. Ia juga belajar banyak dari guru silat lainnya, seperti Ki Asnawi dan H Solihin. 
Ibrahim lalu mewariskan ilmu silatnya kepada muridnya, Hj. Achmad Bunawar. Lalu terbentuk Pencak Silat Tiga Berantai yang dibantu oleh Hj. Deddy Setiadi yang berdiri tahun 1975. Ini untuk mewadahi ilmu yang diwariskan guru-guru kami, kata Hj. Achmad Bunawar, yang biasa dipanggil Hj. Mamak.
Menurut dia, nama perguruan disebut Tiga Berantai karena ada tiga aliran besar ilmu silat yang diajarkan, yakni Si Macan, Si Tembak, dan Si Karet. 

Suasana Latihan 

Si Macan adalah ilmu silat yang dimiliki dan diwariskan Pangeran Jayakarta. Cirinya adalah serangan cakar jari tangan dengan landasan tenaga dalam yang kuat. Dalam pertarungan, cakar digunakan untuk menyerang titik lemah musuh, seperti mata dan tenggorokan. 

Jari-jari yang sudah dilandasi tenaga dalam bisa sangat mudah merobek kulit musuh, kata Ahmad. 

Adapun Si Tembak adalah ilmu silat yang diwariskan Pangeran Sugiri, kerabat Pangeran Jayakarta. Ciri khasnya adalah menggunakan pukulan telapak kedua belah tangan dengan posisi tubuh yang tegap dan kuda-kuda yang kuat. 

Pukulan telapak yang terbuka serta dialiri tenaga dalam itu dilakukan dengan cepat dan berkali-kali dengan kedua lengan lengan saling memukul sehingga menimbulkan bunyi. 

Yang ketiga adalah Si Karet, ilmu silat yang merupakan penggabungan dari berbagai aliran. Karakter gerakannya cepat dan keras serta memiliki variasi serangan dan gerak yang beragam. Aliran yang membentuknya, antara lain, aliran Kebon Manggis dari Hj. Solihin, Cikaret dari Jawa Barat, aliran Mak Inem Pengasinan dari Karawang, danSerak dari Pak Muhin di Tenabang. 

Selain itu, digabung juga aliran silat Si Sabar dari Kebon Sirih dan Giek Sao dari Cina Utara. Si Sabar adalah ilmu yang diajarkan kakek saya, Engkong Musa, dan Giek Saodiajarkan ayah saya, H Muhasim, kata Ahmad. 

Dengan warisan aliran silat yang begitu kaya, tidak mengherankan jika Tiga Berantai menjadi perguruan silat yang cukup disegani. Tiga Berantai, yang juga salah satu perguruan pendiri Ikatan Pencak Silat Indonesia, sering kali menguasai turnamen pencak silat dalam dan luar negeri serta telah mencetak banyak juara. 

Juara nasional kategori seni dari Tiga Berantai, seperti Eko Wahyudi dan Uwais Qorni ( Iko Uwais ), sering kali mendapat undangan untuk pentas dan hadir di ajang atau event silat internasional yang diselenggarakan Persekutuan Silat Antar-Bangsa. 

(Iko Uwais, dalam The Raid : Redemptation)

Kite ude jadi langganan tampil, kata Ahmad dengan bangga. Tiga Berantai juga merupakan angota Persatuan Pencak Silat Putra Betawi, yang merupakan wadah organisasi perguruan silat Betawi yang ada di Jakarta. 


Perguruan Silat Cingkrik Betawi Goning


 Silat Cingkrik adalah seni bela diri Indonesia yang perkembangannya termasyur di wilayah Betawi dan telah berumur ratusan tahun dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di tiap-tiap daerah di Indonesia ada tokoh-tokoh pencak silat yang ternama. Salah satu tokoh silat Cingkrik ini diantaranya adalah  Ki Pitung yang menjadi legenda di kalangan masyarakat Betawi.  Ki Pitung bagi masyarakat Betawi adalah pendekar dan pahlawan pembela kaum lemah dari kesewenang-wenangan penjajah Belanda dan antek-anteknya.
Ki Pitung beliau belajar pencak silat dari seorang haji yang berasal dari daerah Menes di Banten Jawa Barat. Beliau menyebar-luaskan pencak silat cingkrik Betawi ini ke daerah Marunda dan ke daerah Rawa Belong Kebon Jeruk serta daerah Jakarta dan sekitarnya.
Kong Goning (Almarhum)
Tentang Ki Goning, nama aslinya adalah Ainin Bin Urim. Beliau lahir sekitar tahun 1895 dan meninggal sekitar tahun 1975 pada umur 80 tahun. Beliau sering dipanggil “Nin” (berubah bunyi menjadi “Ning”) dan ditambah di depan kata Ning leh orang-orang dengan bahasa Betawi yaitu dengan kata ejekan “Go” maka menjadi “Goning”.
Ki Goning atau lebih akrab dipanggil Kong Goning adalah  seorang pejuang serta pewaris dan penerus silat Cingkrik Betawi yang cukup termasyur sehingga murid-murid beliau menisbahkan ilmu silat Cingkrik yang diterimanya kepada nama beliau sehingga dikenallah “Cingkrik Goning”.
Menurut penjelasan dari Haji Husien (amak kedua dari Kong Goning), bahwa beliau sering pergi ke daerah Marunda (Cilincing Tanjung Priok) tempat dimana Ki Pitung jaya pada zamannya.  Beliau pulang ke Kedoya dari Marunda 2, 3 sampai 4 hari lamanya (tidak dijelaskan apa tujuannya).
Kong Goning mempunyai 4 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Nama anak laki-laki beliau adalah :
1. Kosim (Almarhum)
2. Haji Husien
3. Haji Sa’adih
4. Hasan Jago/Mandor (Almarhum)
Di daerah Kedoya, pencak silat Cingkrik Betawi ada 2 macam aliran, yaitu:
1. Aliran silat Cingkrik Betawi Sinan dengan ciri gerakan jurus pendek-pendek.
2. Aliran silat Cingkri Betawi Goning dengan ciri gerakan jurus panjang dan lebar.

Babe Usup Utai (Almarhum)
Babe Usup Utai, beliau adalah murid dari Kong Goning. Beliau lahir sekitar tahun 1927 serta meninggal sekitar tahun 1993 pada umur 66 tahun.
TB. Bambang Sudrajat
TB. Bambang Sudrajat adalah murid dan menantu dari Babe Usup Utai sekaligus merupakan pewaris dan penerus dari aliran silat Cingkrik Goning melalaui jalur keilmuan Babe Usup Utai.
Menjelang meninggalnya, Babe Usup Utai memanggil TB. Bambang Sudrajat dan meminta kesanggupan TB. Bambang Sudrajat untuk meneruskan tongkat pewarisan ilmu silat Cingkrik Goning ini dan berwasiat supaya ilmu silat Cingkrik Goning ini supaya dijaga kelestariannya jangan sampai “Mati Obor”.


\

Pencak Silat Siwah (Nanggroe Aceh Darussalam)


Aliran silat asli yang berasal dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang memadukan empat aliran asli Aceh yaitu dari 1.Peureulak ,2. Aceh Besar (Keudee Bing - Lhok Nga), 3. Pasee, 4. Pidie
Didirikan oleh ABU TAUFIK AKBAR, lahir di Sigli(Aceh pidie) 7 mei 1972, sekarang bertempat tinggal di Batuphat Timur Dusun A kota Lhokseumawe. Pada usia 12 tahun (kelas 1 smp) beliau mulai berlatih pencak silat di perguruan BETAKO SIKATSU GAJAH PUTEH asuhan Ustad Yusuf, perguruan ini muridnya adalah remaja mesjid Nurul Hidayah komplek perumahan Meusara Agung Aceh Besar.Kemudian bergabung dengan Perguruan Pencak Silat SURYA WIJAKSANA asuhan bapak Bakhtiar (almarhum).


ABU TAUFIK AKBAR pernah mendapatkan predikat pesilat terbaik se Aceh besar untuk usia remaja (SMP).kemudian ABU TAUFIK AKBAR juga mendapat bimbingan dengan Pak Saleh (almarhum) beliau adalah salah seorang pengembang Pencak Silat Di Aceh Besar beliau mengasuh perguruan MERPATI PUTIH .
Untuk menyempurnakan seni beladiri,ABU TAUFIK AKBAR melengkapi pencak silatnya dengan ILMU TENAGA DALAM dengan bergabung dan menimba ilmu dengan Pak Jufri Nyak Leman (almarhum) beliau guru besar Perguruan Seni Bela Diri Tenaga Dalam LENCANA SAKTI .ABU TAUFIK AKBAR mendalami tenaga dalam sampai selesai .Jabatan terakhir di koordinator pelatih dan koordinator DIKLAT LENCANA SAKTI .
Karena dalam keseriusannya ABU TAUFIK AKBAR dalam seni bela diri pencak silat beliau membuka perguruan SENI BELA DIRI PENCAK SILAT SIWAH yang berpusat di Batuphat Timur .prediket terakhir yang di peroleh oleh ABU TAUFIK AKBAR adalah Pelatih dan Juri SILAT SENI TINGKAT NASIONAL (bersertifikak) pada Desember 2007.